MEDAN, Waspada.co.id – IHSG pada perdagangan sesi pertama berhasil mencatatkan kenaikan hingga lebih dari 1%. IHSG mencapai level tertinggi pada hari ini yang mencapai 6.878,56.
Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin, mengatakan bahwa kinerja IHSG pada sesi perdagangan kedua mengalami tekanan, tetapi tetap berhasil ditutup dengan kenaikan 0,41% menjadi 6.834,39. Kinerja IHSG pada penutupan hari ini tidak berbeda jauh dengan kinerja beberapa bursa di Asia yang juga mengalami kenaikan.
“Namun, kinerja IHSG hari ini sangat fluktuatif. Salah satu faktor penguatan bursa pada perdagangan hari ini adalah kebijakan pemerintah yang membebaskan pajak untuk pembelian rumah di bawah 2 miliar. Meskipun pada awalnya para pelaku pasar khawatir akan adanya tekanan akibat meningkatnya tensi politik di Indonesia,” ujarnya, Rabu (25/10).
Pemerintah melalui kebijakannya kembali mendorong konsumsi masyarakat sebagai motor pertumbuhan ekonomi. Di mana pembelian rumah dihitung sebagai konsumsi masyarakat. Dengan kebijakan tersebut, pertumbuhan ekonomi ke depan dapat dipertahankan meskipun ada ancaman perlambatan ekonomi global.
“Sementara itu, nilai tukar rupiah melemah menjadi 15.865 per dolar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah hari ini tidak jauh berbeda dengan pembukaan perdagangan sesi pertama. Rupiah sedikit mengalami tekanan hari ini seiring dengan kenaikan yield obligasi Amerika Serikat selama sesi perdagangan,” jelasnya.
Rupiah relatif tidak terpengaruh oleh dinamika politik belakangan ini. Berbeda dengan bursa saham yang sempat merosot menjelang masa akhir pendaftaran calon presiden.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah terus melemah dalam dua hari perdagangan terakhir. Namun, pada perdagangan besok, pelaku pasar akan diberikan sejumlah data inflasi yang dapat mempengaruhi ekspektasi pasar selanjutnya.
“Sesuai dengan nilai tukar rupiah, harga emas tidak mengalami perubahan pada sesi perdagangan hari ini. Harga emas diperdagangkan pada sekitar $1.970 per ons troy. Sentimen yang mempengaruhi harga emas tidak berbeda dengan rupiah, yaitu dipengaruhi oleh ekspektasi yield dolar Amerika Serikat ke depan, serta perkembangan konflik di Timur Tengah,” tambahnya. (wol/eko/d2)
Editor: Ari Tanjung
