MEDAN, Waspada.co.id – Inisiator Gerakan Gadget Sehat Indonesia (GGSI), Prof Dr dr. Ridha Dharmajaya Sp.BS (K) mengingatkan ancaman akan bahaya penggunaan gadget yang tidak tepat.
Hal itu disampaikannya saat mengisi materi sosialisasi kesehatan, di Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara dengan tema pencegahan penyakit saraf kejepit dengan cerdas ber-gadget, pada Rabu (25/10) petang.
Berlangsung di ruang Aula Kuala Deli, KPw Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara, Prof Ridha menjelaskan ancaman gadget tersebut di hadapan ratusan pegawai Bank Indonesia.
“Dasar kita berbicara gadget kita rasakan pada akhir 2022. Kita mulai menerima pasien yang mengalami gejala awal saraf kejepit leher yang lazimnya dirasakan oleh usia 50 tahun ke atas. Tapi akhir 2022 ini kita menemukan anak SMA, SMP bahkan SD sudah mengalaminya,” ucap pria yang juga berpofesi sebagai dokter ahli bedah syaraf itu.
Adapun gejalanya sambung Prof Ridha, yakni leher sakit, kepala pusing, tangan kesemutan, pundak berat dan mudah merasa lelah. Hal itu dikarenakan penggunaan gadget yang tidak tepat terutama dalam posisi dan durasi.
“Saat kita melihat lurus ke depan atau dalam posisi 0 derajat maka leher kita menanggung berat 5 kilogram. Saat terjadi tekukan 30 derajat maka beban yang ditanggung leher itu berkisar 18 kilogram. Saat tekukan mencapai 60 derajat maka beban yang ditanggung leher kita mencapai 27 kilogram,” terang Prof Ridha. Jika tekukannya dalam tapi durasi tidak terlalu lama maka menurutnya belum menjadi masalah.
“Namun, sejauh ini kita menggunakan gadget sering lupa waktu bahkan bisa di atas empat jam. Padahal berdasarkan penelitian beberapa ahli, maksimal pemakaian gadget adalah dua jam dalam sehari. Ini yang jadi masalah,” sambung Prof Ridha.
Jika ini terus dibiarkan dan berlangsung lama ungkap Prof Ridha, yang terjadi adalah kematian saraf.
“Ini horor. Saraf yang mati akan menyebabkan kelumpuhan tangan dan kaki secara bertahap, buar air kecil tak terasa atau loss dan seksual bagi lelaki tidak berfungsi. Tentu tak ada obat yang bisa menyembuhkan dan tak ada operasi yang bisa mengembalikan, dia akan cacat seumur hidup,” ujarnya.
Ini juga menjadi ancaman bagi Indonesia yang tengah mengalami situasi bonus demografi, di mana usia produktifnya jauh lebih tinggi dari usia non produktif.
“Kondisi ini harus dimanfaatkan dengan sebaiknya atau bonus demografi justru akan menjadi bencana demografi. Belum lagi kita dihadapkan dengan persaingan global. Selain itu, lima hingga sepuluh tahun ke depan generasi muda kita akan bersaing dengan mesin. Untuk itu, menjadi generasi berkualitas yakni generasi pintar, sehat dan memiliki moralitas yang baik bukan lagi pilihan tapi kewajiban,” ucapnya.
Sebelum menutup materinya, Prof Ridha turut menyampaikan beberapa pencegahan agar generasi muda bisa selamat dari bencana demografi.
“Yakni dengan disiplin penggunaan gadget. Mau berhasil itu kesungguhan kita sendiri dan izin Allah. Gunakanlah pada saat perlu (2 jam per hari). Jika kerja menggunakan hp, pindahkan data ke personal computer (PC), tablet ataupun laptop dan layarnya ratakan dengan wajah. Pastikan satu jam sekali memanfaatkan break time sekitar lima menit. Sehingga generasi muda kita bisa terselamatkan dari saraf leher kejepit dan juga kematian saraf,” pesan Prof Ridha.
Selain dihadiri Deputi Kepala Perwakilan KPw BI Prov Sumatera Utara, Suharman Tabrani, sosialisasi kesehatan itu juga turut dihadiri Dr Ilham Fadly Hutabarat, sejumlah pensiunan pegawai BI, pejabat BI serta pegawai organik dan non organik BI Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumut. (wol/rls/pel/d2)