Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej diduga telah menjanjikan penghentian proses hukum Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan yang sedang ditangani Bareskrim Polri. Janji tersebut disertai dengan imbalan sebesar Rp3 miliar.
“Ada juga permasalahan hukum lain yang dialami HH (Helmut Hermawan) di Bareskrim Polri dan untuk itu EOSH (Edward Omar Sharif Hiariej) bersedia dan menjanjikan proses hukumnya dapat dihentikan,” kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, dilansir dari laman republika, Kamis (7/12).
“Proses hukumnya dapat dihentikan melalui SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) dengan adanya penyerahan uang sejumlah sekitar Rp3 miliar,” tambahnya.
Meski demikian, Alex tidak memerinci kasus Helmut yang dijanjikan dihentikan oleh Eddy. Namun, sikap Eddy telah melanggar aturan karena dinilai menyalahgunakan wewenangnya sebagai Wamenkumham dan menerima sejumlah uang.
KPK telah menetapkan Eddy dan Helmut sebagai tersangka terkait dugaan suap serta gratifikasi dalam pengurusan administrasi hukum umum di Kementerian Hukum dan HAM RI. Selain keduanya, pengacara bernama Yosi Andika Mulyadi (YAM), dan asisten pribadi Eddy Hiariej, yakni Yogi Arie Rukmana (YAR) juga ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus yang sama.
KPK menduga, Eddy menerima uang suap dari Helmut dengan total Rp8 miliar. Rinciannya, yakni untuk membantu pengurusan sengketa status kepemilikan PT CLM senilai Rp4 miliar, penghentian kasus di Bareskrim Polri sebesar Rp3 miliar, dan pemberian uang Rp1 miliar untuk keperluan pribadi Eddy dalam pencalonan diri sebagai Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti).
“KPK menjadikan pemberian uang sejumlah sekitar Rp 8 miliar dari HH pada EOSH melalui YAR dan YAN sebagai bukti permulaan awal untuk terus ditelusuri dan didalami hingga dikembangkan,” jelas Alex.
Atas perbuatannya, Helmut sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.