Mantan Anggota KPU Harap KPK Segera Tangkap Harun Masiku
JAKARTA, Waspada.co.id – Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa segera menangkap Harun Masiku, tersangka kasus suap yang hingga kini masih menjadi buronan KPK.
“Kita berharap KPK berhasil menangkap Harun Masiku,” kata Wahyu Setiawan usai diperiksa penyidik di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (28/12).
Di sisi lain, Wahyu Setiawan heran dan mempertanyakan kinerja lembaga antirasuah yang hingga kini belum bisa menangkap mantan politikus PDI Perjuangan itu. Padahal, kata dia, KPK bisa langsung menangkap dirinya.
“Saya juga mempertanyakan kenapa KPK tidak segera menangkap Harun Masiku ya kan? KPK kan bisa menangkap saya, kenapa Harun Masiku tidak bisa ditangkap?” ujarnya.
Lebih lanjut, Wahyu Setiawan mengaku belum pernah bertemu dengan Harun Masiku selaku pihak yang menyuapnya. Selama ini, komunikasi dirinya dengan Harun Masiku selalu lewat perantara, yakni melalui Agustiani Tio Fridelina.
“Saya belum pernah ketemu, sampai sekarang belum pernah ketemu,” kata Wahyu.
Selain itu, Wahyu mengaku tidak mengetahui keberadaan Harun Masiku saat ini. Wahyu mengklaim bersedia menangkap Harun Masiku jika tahu keberadaannya.
“Kalau saya tahu, saya tangkap lah, mau bantu KPK,” tutur Wahyu.
Adapun terkait dengan pemeriksaan terhadap dirinya, Wahyu mengaku diperiksa selama enam jam. Ia pun mendapat puluhan pertanyaan dari penyidik lembaga antirasuah tersebut.
Penyidik KPK memanggil Wahyu Setiawan untuk diperiksa sebagai saksi dugaan suap penetapan anggota DPR RI periode 2019-2024 dengan tersangka Harun Masiku (HM) pada hari ini, Kamis (28/12).
Wahyu juga merupakan terpidana dalam kasus yang sama dan saat ini tengah menjalani bebas bersyarat dari pidana 7 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang, Jawa Tengah.
KPK menjebloskan Wahyu ke balik jeruji besi berdasarkan putusan MA Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021 jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Terpidana Wahyu juga dibebani kewajiban untuk membayar denda sejumlah Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Yang bersangkutan juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.
Sebelumnya, amar putusan kasasi terhadap Wahyu adalah menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.
Meski majelis kasasi menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), namun khusus permohonan pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik bagi Wahyu telah dipertimbangkan dan diputus sebagaimana permohonan dari tim JPU dalam memori kasasi yang sebelumnya telah diajukan kepada MA.
Dalam persidangan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 Agustus 2020, majelis hakim memutuskan Wahyu divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan.
Majelis hakim pun memutuskan tidak mencabut hak politik Wahyu pada masa waktu tertentu seperti tuntutan JPU KPK.
Kemudian pada 7 September 2020, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis 6 tahun penjara bagi Wahyu atau masih lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang menuntut agar Wahyu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Putusan banding tersebut tidak menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik bagi Wahyu selama 4 tahun setelah menjalani hukuman pidana seperti yang dituntut KPK. (wol/kompastv/ryan/d1)