Watak Seorang Pemimpin yang Utama – prabowo2024.net

by -141 Views
Watak Seorang Pemimpin yang Utama – prabowo2024.net

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]

Seorang pemimpin militer akan memiliki kepribadian dan kepemimpinannya yang terbentuk dalam pertempuran. Saya merasa beruntung karena sebagai seorang perwira muda, saya mendapat pembinaan, pembelajaran, asuhan, dan bimbingan dari banyak tokoh yang terlibat dalam perang kemerdekaan dan operasi militer di awal sejarah Republik Indonesia.

Pada saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik Indonesia bisa bertahan. Karena tidak ada anggaran untuk pemerintah dan tentara. Ketahanan bangsa ditentukan oleh ribuan atau puluhan ribu putra-putri Indonesia dari berbagai suku, ras, kelompok etnis, dan daerah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dalam perjuangan untuk merdeka atau menghindari risiko dengan diam. Mereka memilih mempertaruhkan nyawa mereka untuk merebut kemerdekaan sehingga kita bisa bebas dari penjajahan yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

Mereka adalah generasi pembebas yang dikenal sebagai angkatan ’45. Mereka dianggap sebagai Generasi Terbaik Indonesia.

Sebagai anak muda, Taruna Akademi Militer, dan perwira muda, saya merasa beruntung karena berinteraksi dengan banyak tokoh dari angkatan ’45. Bahkan keluarga saya sendiri adalah keluarga pejuang, bagian dari angkatan ’45. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, adalah orang yang dipercaya oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan saat Bung Karno dan seluruh tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan dibuang oleh Belanda.

Dua paman saya, Letnan Subianto Djojohadikusumo dan Taruna Sujono Djojohadikusumo, gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada tanggal 25 Januari 1946.

Selain itu, orang tua saya, Soemitro Djojohadikusumo, bergabung dan berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia setelah pulang dari Belanda. Beliau terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra ke luar Indonesia, serta penyelundupkan senjata dari luar untuk pasukan Indonesia. Pada usia 29 tahun, beliau menjadi Asisten Pribadi Perdana Menteri RI I, Sutan Sjahrir.

Saya lahir pada tahun 1951, atau 10 bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Memori pertama saya saat kecil adalah mengunjungi Taman Makam Pahlawan tempat dua paman saya dimakamkan, dan mengunjungi rumah kakek saya pada hari Minggu. Dari situ muncul semangat ’45, semangat untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, terhormat, adil, makmur, bahagia, dan sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya.

Keluarga saya adalah keluarga angkatan ’45, dan lingkungan saya adalah lingkungan pejuang kemerdekaan. Angkatan ’45 terbentuk karena mereka tidak mau diperlakukan lebih hina daripada anjing oleh penjajah. Mereka sering mendengar kalimat “verboden voor Honden en Inlanders” (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihat tulisannya di dinding-dinding. Bahkan saat saya menjabat Komandan Kompi di Grup 1 Para Komando, saya masih sempat melihat dan membaca tulisan tersebut di kolam renang Manggarai, Jakarta Selatan.

Di masa kecil, saya sering berinteraksi dengan tokoh-tokoh angkatan ’45 seperti Bapak Mohammad Hatta, dan pada masa remaja saya masuk Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang dan mendapatkan pelajaran berharga dari banyak tokoh angkatan ’45.

Kesimpulanya dari interaksi dengan tokoh-tokoh angkatan ‘45 adalah bahwa mereka sangat patriotik, percaya diri, cerdas, humoris, dan luwes. Mereka adalah pemimpin lapangan yang memberikan saya pelajaran berharga tentang bagaimana seorang pemimpin militer harus bertindak, bersikap, dan berperilaku.

Dalam halaman-halaman berikut, saya akan menceritakan kesan-kesan dan pelajaran yang saya dapatkan dari mereka yang saya anggap sebagai guru dan panutan saya.

Source link