Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan bahwa jajarannya sedang mendalami dugaan tindak pidana jual beli suara di Kuala Lumpur, Malaysia.
Pendalaman tersebut dilakukan dalam proses penyidikan atas kasus manipulasi daftar pemilih Pemilu 2024 di Kuala Lumpur.
Dalam konferensi pers di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, pada Selasa (27/2), Djuhandhani menyebutkan bahwa kasus dugaan jual beli suara tersebut mungkin berhubungan dengan kasus manipulasi daftar pemilih, namun Dia belum mau memberikan detail terkait hubungan kedua kasus tersebut.
Kasus dugaan jual beli surat suara pertama kali diungkap oleh Migrant Care, sebuah LSM yang fokus pada perlindungan pekerja migran Indonesia. Migrant Care menemukan sekitar 10 kotak pos terbengkalai tanpa pengawasan di tiga apartemen di Malaysia pada 10 Februari 2024.
Tidak ada surat suara di kotak pos tersebut, namun menurut Migrant Care, apartemen-apartemen tersebut banyak dihuni oleh warga negara Indonesia yang seharusnya menerima surat suara Pemilu 2024 melalui pos.
Berdasarkan dugaan Bawaslu, surat suara dari kotak pos yang terbengkalai telah diambil oleh sindikat perdagangan surat suara dan dijual kepada peserta pemilu yang membutuhkan suara seharga 25 hingga 50 ringgit Malaysia atau setara Rp 81 ribu hingga Rp 163 ribu.
KPU dan Bawaslu telah sepakat untuk tidak menghitung suara yang dikirim melalui metode pos dan Kotak Suara Keliling (KSK) di Kuala Lumpur karena ada masalah pendataan pemilih. Pemungutan suara ulang untuk pemilih yang menggunakan dua metode tersebut akan dilakukan pada 9-10 Maret 2024.