Kepemimpinan Militer: Jenderal Besar TNI Sudirman

by -108 Views
Kepemimpinan Militer: Jenderal Besar TNI Sudirman

Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang tangguh dan mulia kepada generasi TNI berikutnya: sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuk murninya. Ia meninggalkan fondasi rasa harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman pada saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati. Keheroisannya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Ia mengukuhkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemegahan negara.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916. Ia merupakan seorang guru sekolah dasar di sekolah yang dijalankan oleh Muhammadiyah di Solo, yang saat itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus memperbolehkan bangsa Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan ada sekitar 60 batalyon sukarelawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Para komandan batalyon dipilih dari pemimpin-pemimpin pribumi yang sangat dihormati di Kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sekolah menengah keagamaan di bawah naungan Muhammadiyah dipilih. Hal ini menunjukkan bagaimana, sebagai kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter yang teguh. Pemuda yang memiliki pendidikan dan reputasi baik dipilih menjadi komandan kompi dan komandan pleton. Jepang melatih mereka di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan kompi ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie dan banyak nama lain yang kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, komandan-komandan PETA ini segera mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik yang baru diumumkan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman tanpa henti mengejar pasukan Inggris yang menguasai Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah berencana untuk mundur, pasukan Sudirman terus-menerus mengganggu pasukan Inggris sehingga kepergian mereka dipercepat. Di mata pejuang kemerdekaan Indonesia, ia menjadi sosok pahlawan yang mewakili semangat perjuangan TNI yang garang. Ia diakui atas upayanya mendorong dan mengusir pasukan Inggris dari Magelang serta memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini merupakan pukulan telak yang memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Setelah peristiwa di mana Sudirman meraih ketenaran dan mendapatkan penghormatan dari para komandan batalyon sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Angkatan Perang Rakyat (TKR) 5 Oktober 1945. Perwira tertinggi Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Ia bersumpah setia kepada TNI. Ia dianggap sebagai prajurit aktif yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin dari semua batalyon di Jawa memprotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka dikomunikasikan kepada Presiden Sukarno. Untuk mempertahankan persatuan dan keamanan republik yang muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada 19 Desember 1948, meskipun ada perjanjian gencatan senjata di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak ke Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia kala itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang terhadap Pearl Harbor pada tahun 1941 atau pukulan Santino Mussolini di belakang Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara pada saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan kelalaian tindakan Belanda melalui cara-cara diplomatik dan politik.

Pada akhir 1948 Jenderal Sudirman, Panglima TNI pertama, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan ia hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah menjalani operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat ia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno saat dimulainya serangan mendadak Belanda. Ia menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap tinggal di kota karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir semua anggota kabinetnya, memutuskan untuk tidak meninggalkan kota dan menawarkan perlawanan yang sangat sedikit ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia sangat kecewa dengan berita penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan anak buahnya meningkatkan semangat seluruh bangsa, dan TNI akhirnya mendapatkan keunggulan.

Dengan berbagai keputusan teladan, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi TNI berikutnya warisan yang tangguh dan mulia, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuk murninya. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan fondasi rasa harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI masa depan.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa ia memiliki kepribadian yang kuat dan tak kekurangan keberanian, sikap teguh dan semangat pengorbanan yang tulus. Ia menyadari bahwa ada kemungkinan besar ia akan terluka dan tidak menerima perawatan medis yang memadai selama perang gerilya. Namun, ia memilih untuk mengorbankan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya meningkatkan kepercayaan bawahan dan rakyat luas di tengah serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika pada saat itu Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman pada saat itu tidak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati. Perbuatan heroiknya telah memberikan reputasi kepada TNI sebagai kekuatan tak kenal lelah yang meletakkan kepentingan bangsa dan kepentingan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Ia meneguhkan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemegahan negara.

Source link