JAKARTA, Waspada.co.id – Para hakim di seluruh Indonesia berencana melakukan cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024 sebagai bentuk protes atas stagnasi gaji dan tunjangan yang tidak mengalami perubahan selama 12 tahun terakhir. Gerakan ini menjadi pernyataan sikap yang menuntut perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan para hakim yang dinilai kian terabaikan.
Juru bicara Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia, Fauzan Arrasjid, menyampaikan bahwa gerakan ini merupakan wujud kekecewaan para hakim terhadap lambatnya pemerintah dalam menyesuaikan penghasilan mereka.
Menurut Fauzan, selama ini para hakim terus menjalankan tanggung jawab besar dalam menegakkan keadilan, tetapi kesejahteraan mereka justru stagnan.
“Ketidakmampuan pemerintah menyesuaikan penghasilan hakim ini jelas merupakan langkah mundur dan berpotensi mengancam integritas lembaga peradilan. Tanpa kesejahteraan yang memadai, hakim bisa saja rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Fauzan dalam siaran persnya dikutip dari Kompas.id, Kamis (26/9).
Kenaikan gaji hakim terakhir kali dilakukan pada 2012 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah Mahkamah Agung.
Pada saat itu, gaji hakim dengan masa kerja nol tahun golongan III a mencapai Rp 2,05 juta, sedangkan gaji hakim dengan masa kerja 32 tahun golongan IV e sebesar Rp 4,9 juta.
Sementara untuk tunjangan, hakim mendapatkan Rp 8,5 juta untuk hakim pratama di pengadilan Kelas II hingga Rp 24 juta untuk hakim utama di pengadilan kelas IA khusus.
Kemudian tunjangan ketua pengadilan dari Rp 17,5 juta hingga Rp 27 juta (tergantung dari kelas pengadilan) dan wakil ketua pengadilan antara Rp 15 juta untuk pengadilan kelas II dan Rp 24,5 juta untuk pengadilan kelas IA khusus.
Namun, sejak 2012 hingga 2024, gaji tersebut tidak pernah mengalami perubahan. Padahal, angka inflasi setiap tahun terus meningkat, mulai dari 1,68 persen pada tahun 2020 hingga mencapai 8,38 persen pada tahun 2013.
Fauzan menyatakan bahwa gerakan cuti bersama merupakan wujud komitmen kolektif para hakim dalam memperjuangkan kesejahteraan, independensi, serta kehormatan lembaga peradilan.
Para hakim mendesak Presiden RI untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012, guna menyesuaikan gaji dan tunjangan hakim dengan standar hidup layak.
Selain itu, besarnya tanggung jawab profesi hakim juga harus menjadi pertimbangan dalam penentuan gaji dan tunjangan tersebut.
Para hakim juga menyatakan dukungannya kepada Mahkamah Agung dan Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) agar secara aktif mendorong revisi PP No 94/2012.
Mereka berharap MA dan Ikahi dapat memastikan bahwa suara para hakim di seluruh Indonesia didengar dan diperjuangkan.
Gaji hakim saat ini masih disetarakan dengan gaji pegawai negeri sipil (PNS) biasa, meskipun tanggung jawab mereka jauh lebih besar. Kondisi ini menyebabkan penurunan drastis penghasilan saat hakim memasuki masa pensiun.
Selain itu, tunjangan jabatan hakim tidak mengalami kenaikan selama 12 tahun terakhir, sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012.
Kenaikan inflasi sejak 2012 hingga 2024 telah memperburuk kondisi tersebut, menggerus nilai riil tunjangan hakim. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa inflasi mencapai puncaknya dalam beberapa tahun terakhir.
Fauzan mencontohkan harga emas sebagai salah satu indikator kesejahteraan, yang melonjak dari Rp 584.200 per gram pada 2012 menjadi Rp 1.443.000 per gram pada September 2024.
Pemberlakuan PP No 94/2012 juga menghapus tunjangan kinerja (tukin) atau remunerasi hakim, yang menyebabkan penghasilan hakim semakin jauh dari standar hidup layak.
Meskipun hakim menerima tunjangan kemahalan yang bervariasi sesuai kondisi geografis dan aksesibilitas wilayah pengadilan, beberapa pengadilan di daerah terpencil justru tidak mendapatkan tunjangan kemahalan yang memadai, sehingga kurang menjadi insentif bagi hakim yang bertugas di wilayah tersebut.
Beban Kerja Hakim
Sementara itu, para hakim dihadapkan pada beban kerja yang besar dan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang ada.
Berdasarkan Laporan Tahunan 2023, terdapat 6.069 hakim tingkat pertama yang menangani 2.845.784 perkara. Selain tugas memutus perkara, para hakim juga memiliki tugas tambahan, seperti pengawasan bidang dan manajemen peradilan.
”Beban kerja yang tidak proporsional dirasa sangat membebani mengingat di setiap satuan kerja jumlah hakim tidak sama bahkan beberapa satuan kerja di Indonesia timur saat ini hanya diisi oleh dua sampai tiga hakim. Krisis hakim tampak di depan mata,” ucap Fauzan.
Selain itu, tidak semua hakim memperoleh fasilitas rumah dinas dan transportasi yang layak. Menurut Fauzan, banyak hakim terpaksa tinggal di kos-kosan dan menggunakan kendaraan pribadi untuk melaksanakan tugas sehari-hari.
Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya ketentuan yang mengatur tentang akomodasi dan transportasi dalam PP No 94/2012.
Meskipun MA telah menerbitkan Surat Keputusan Sekretaris MA pada 27 Desember 2019 yang mengatur penyediaan rumah dinas dan transportasi bagi hakim, banyak hakim merasa bahwa nominal yang ditetapkan dalam surat tersebut tidak memadai dan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Akibat dari tidak adanya penyesuaian gaji dan tunjangan selama 12 tahun terakhir, banyak hakim yang kesulitan membawa serta keluarga mereka ke daerah penempatan kerja.
Kondisi itu menyebabkan banyak hakim harus hidup terpisah dari keluarga. Bahkan, tak jarang pasangan hakim, baik suami maupun istri, terpaksa berhenti bekerja demi bisa ikut mendampingi hakim yang bertugas di daerah pelosok. (wol/kompastv/ryp/d2)