Rencana merger antara Honda dan Nissan akhirnya batal. Meskipun demikian, ini merupakan keputusan yang baik. Spekulasi tentang kemungkinan kemitraan antara dua perusahaan otomotif Jepang ini memang cukup mengejutkan dan membuat kebingungan, terutama karena tidak ada keuntungan yang jelas bagi kedua belah pihak.
Pergi ke tempat terpisah dengan rasa kecewa ini, Nissan tampaknya enggan untuk bergabung dengan produsen mobil yang sedang mengalami masalah. Namun, hal ini bukan berarti kedua perusahaan tersebut tidak mendapatkan pelajaran dari proses tersebut.
Pacaran yang gagal ini seolah menjadi peringatan bagi CEO Nissan, Makoto Uchida. Nissan menyadari bahwa perlu adanya restrukturisasi yang lebih cepat dan terstruktur. Hal ini muncul setelah negosiasi dengan Honda yang tampaknya membuka mata Nissan terhadap keadaan perusahaannya yang terlupakan.
Meskipun Nissan telah menghadirkan beberapa inovasi, seperti mobil listrik Generation 2, Ariya, namun hal itu belum cukup untuk memberinya keunggulan yang signifikan. Pasar mobil listrik, terutama di AS, semakin kompetitif dan Nissan perlu melakukan perubahan signifikan untuk tetap relevan.
Melihat pernyataan CEO Honda, Toshihiro Mibe, yang mempertanyakan keefektifan kepemimpinan bersama Nissan-Honda, Uchida merespon dengan mengusulkan reformasi internal. Ini termasuk pemangkasan 20% peran kepemimpinan, meninjau kembali kemitraan, dan menyelesaikan masalah pabrik.
Mibe menyarankan agar Nissan lebih meninggalkan kendali dan membiarkan Honda memimpin. Sementara itu, Nissan perlu segera melakukan langkah-langkah transformasi untuk mengatasi tantangan di depan. Meskipun akan sulit, tetapi itulah langkah yang perlu diambil untuk memperbaiki posisi Nissan di pasar global yang semakin kompetitif.
Jadi, meskipun rencana merger antara Honda dan Nissan gagal, pengalaman ini menjadi cambuk bagi Nissan untuk melakukan perubahan yang lebih substansial ke depannya. Dokumen perkembangan ini bisa membantu menandakan titik balik bagi masa depan Nissan yang lebih cerah.