JAKARTA, Waspada.co.id – Pakar Komunikasi Keluarga dari Universitas Andalas, Ernita Arif, mengatakan maraknya aksi bunuh diri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bahkan sampai pembunuhan terhadap anggota keluarga dipicu oleh lemahnya faktor komunikasi di dalam keluarga.
Ernita menyebut karena komunikasi kurang baik, ekspresi yang sehat untuk emosi dan perasaan anggota keluarga terutama yang sedang menghadapi masalah tidak tersalurkan dengan baik.
Hal tersebut kemudian memicu terjadinya kekerasan, aksi nekat bunuh diri, hingga ada yang tega membunuh anggota keluarga. “Memang yang paling sering memicu itu adalah masalah ekonomi. Tapi tentu juga ada peran komunikasi keluarga di sini yang lemah atau tidak berjalan dengan baik. Antara orang tua dengan anak, antara suami dengan istri, kakak dengan adik,” kata Ernita, Sabtu (16/12).
Ia menjelaskan komunikasi keluarga yang lemah akan berimbas antara lain, kurangnya saluran ekspresi yang sehat untuk emosi dan perasaan. Menurut dia, anggota keluarga yang tidak dapat menyampaikan dan memahami perasaan anggota keluarga cenderung menumpuk emosi yang pada gilirannya dapat menyebabkan ledakan emosional dan kekerasan.
Kedua, kata Ernita miskomunikasi dan ketidakpahaman sehingga menimbulkan potensi konflik yang jika tidak diselesaikan dengan baik. Hal itu kemudian dapat berkembang menjadi situasi yang lebih serius, termasuk kekerasan dalam rumah tangga.
Ketiga, anggota keluarga merasa terabaikan atau tidak diperhatikan. Rasa kesepian dan isolasi ini lanjut Ernita dapat memicu perilaku kekerasan sebagai upaya untuk menarik perhatian.
“Untuk itu ciptakan komunikasi yang hangat dalam keluarga dengan menghargai perasaan, saling terbuka, mendengarkan dengan penuh perhatian, saling mendukung, mengungkapkan cinta dan kasih sayang sehingga dapat membangun dasar yang kuat untuk kebahagiaan dan keharmonisan jangka panjang,” ucap Ernita.
Dirinya menambahkan komunikasi yang hangat dalam keluarga meliputi penggunaan kata-kata, ekspresi wajah, dan gestur tubuh yang menyiratkan kasih sayang, perhatian, dan dukungan. “Tentunya hal tersebut diperlukan kesadaran, pemahaman, empati serta rasa keamanan dan kenyamanan bagi setiap anggota keluarga,” kata dia. (wol/republika/ari/d1)