Oleh: Prabowo Subianto (diambil dari Buku 1 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto)
Menaikkan gaji ASN (terutama guru, dosen, tenaga kesehatan, dan penyuluh), TNI/POLRI, dan pejabat negara.
Sudah menjadi rahasia umum kalau penghasilan guru, dosen, aparatur sipil negara (ASN), tentara nasional Indonesia (TNI), hingga kepolisian Republik Indonesia (POLRI) tidak dalam kondisi sejahtera.
Saya berpendapat, pendapatan para pejabat negara perlu ditingkatkan secara layak. Saya percaya hanya dengan pendapatan yang layak, maka kita bisa menuntut para pejabat negara kita untuk bekerja dengan profesional, dan sama sekali tidak korupsi.
Selain itu, hanya dengan pendapatan yang layak, pendapatan yang bersaing dengan swasta, kita bisa dapatkan putera puteri terbaik bangsa kita untuk mendaftar jadi guru, dosen, ASN, TNI dan POLRI.
Sebagai Menteri Pertahanan, saya bertanggung jawab untuk anggaran gaji prajurit TNI. Jujur saya merasa tidak enak, saya sulit tidur nyenyak, mengetahui bedanya kesejahteraan prajurit di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, apalagi dengan Amerika. Bahkan gaji seorang Kopral di Amerika lebih tinggi dari Jenderal di Indonesia.
Lalu apakah negara kita punya uang untuk tingkatkan gaji guru, dosen, ASN, TNI dan POLRI? Saya jawab, negara harus punya. Tambahan pendapatan negara harus diusahakan.
Melanjutkan pembangunan infrastruktur desa dan kelurahan, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan menjamin penyediakan rumah murah bersanitasi baik untuk yang membutuhkan, terutama generasi milenial, generasi Z, dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Di bulan Oktober tahun 2013 lalu, saya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra menerima perwakilan beberapa organisasi desa di kantor DPP Gerindra. Hadir dari APDESI (Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia), PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia), AKD (Asosiasi Kepala Desa), Parade Nusantara (Persatuan Rakyat Desa Nusantara), HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan), APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), INKUD (Induk Koperasi Unit Desa).
Waktu itu saya sampaikan, Indonesia mempunyai kapasitas untuk mempercepat pembangunan ekonomi di pedesaan dengan menyalurkan secara langsung dana APBN ke desa dan organisasi-organisasi yang menggerakkan ekonomi rakyat seperti Koperasi Unit Desa, koperasi tani dan nelayan, dan koperasi pasar.
Dana pembangunan desa harus diserahkan langsung ke desa. Penggunaan dana itu diserahkan kepada masyarakat desa melalui musyawarah desa.
Pemikiran ini saya sampaikan didasari pemahaman kalau struktur ekonomi Indonesia tidak seimbang dan tidak adil. Sebagian besar rakyat Indonesia tinggal di pedesaan, tetapi 60% dari uang yang beredar di seluruh Indonesia beredar di ibu kota Jakarta.
Kita harus berani mengubah struktur ekonomi ini. Sumber daya ekonomi bangsa Indonesia harus dipergunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia, tidak hanya dinikmati segelintir orang saja di ibukota dan kota-kota besar.
Membangun dari desa menjadi strategi utama dalam pembangunan nasional. Alhamdulillah, walaupun waktu itu setelah Pemilu 2014 saya tidak bergabung dengan Pemerintahan Presiden Jokowi, beliau punya pemahaman yang sama dengan saya soal ini. Mulai 2015, dimulai pembangunan desa secara besar-besaran dengan adanya Dana Desa. Sekarang sudah begitu banyak infrastruktur desa yang terbangun. Bahkan, catatan terakhir, sudah terbangun lebih dari 320.000 km jalan desa, ribuan embung, ribuan balai desa, dan berbagai infrastruktur desa lainnya.
Saya berpendapat, program terkait pembangunan desa yang sudah dilaksanakan harus dilanjutkan dan ditingkatkan. Selain membangun infrastruktur desa, kita juga perlu membangun rumah murah dengan sanitasi baik untuk masyarakat yang membutuhkan. Saat ini masih terlalu banyak orang Indonesia yang tinggal di rumah yang tidak layak tinggal, dan rumah tanpa sanitasi yang baik. Karena ada hal-hal juga yang perlu dilakukan lintas desa, kita juga perlu sediakan Dana Kelurahan untuk bangun hal-hal yang diperlukan.
Mendirikan Badan Penerimaan Negara dan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto ke 23%.
Penerimaan negara kita terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak (PNBP). Dari penerimaan negara inilah kita membiayai berbagai program pemerintah – termasuk gagasan saya untuk 7 “Program Hasil Terbaik Cepat” lainnya.
Saat ini pendapatan pajak dan bukan pajak kita masih jauh dari optimal. Di 2021 lalu, pendapatan pajak terhadap PDB kita atau rasio pajak hanya 9,1%. Pendapatan pajak terhadap PDB kita atau rasio pendapatan hanya 11,8%.
Angka ini rendah dibandingkan dengan capaian negara tetangga kita. Di tahun yang sama, Kamboja, misalkan, bisa capai rasio pajak 16,4% dan rasio pendapatan 18,1%. Malaysia bisa capai rasio pajak 11,2% dan rasio pendapatan 15,1%. Thailand juga bisa lebih bagus dari kita. Thailand bisa capai rasio pajak 14,3% dan rasio pendapatan 18,5%.
Di tahun 2024, PDB kita ditaksir akan mencapai Rp. 22.786 triliun. Artinya, kalau rasio pendapatan kita hanya 11,8%, pendapatan negara hanya Rp. 2.700 triliun. Tapi kalau rasio pendapatan kita naik 1% saja, ada penambahan Rp. 228 triliun. Kalau rasio pendapatan kita bisa sama dengan Kamboja di 18,1%, maka pendapatan kita di 2024 mencapai Rp. 4.142 triliun. Artinya, kalau kita bisa seperti Kamboja, maka pendapatan negara kita naik dari Rp. 2.700 triliun ke Ro. 4.142 triliun – naik Rp. 1.442 triliun.
Pendapatan yang naik Rp. 1.400 triliun bisa kita gunakan untuk biayai semua Program Hasil Terbaik Cepat. Bisa kita gunakan untuk bangun sekolah-sekolah unggul di setiap kabupaten. Rumah sakit kualitas dunia di setiap kabupaten. Sediakan makan siang gratis untuk semua anak sekolah, dan lain sebagainya.
Agar tidak salah paham, saya tidak mau tingkatkan persentase pajak yang diambil oleh pemerintah dari ekonomi. Yang harus dilakukan adalah memastikan pendapatan yang harusnya didapatkan, didapatkan.
Litbang KPK pernah mengkaji di 2019, kebocoran penerimaan negara sebenarnya lebih besar dari kebocoran anggaran negara. Kebocoran penerimaan itu artinya yang harusnya diterima negara berapa, tapi yang diterima berapa.
Tidaklah heran jika di 2023 ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap ratusan triliun transaksi mencurigakan yang melibatkan pejabat-pejabat di Direktorat Jenderal Pajak. Inilah yang harus kita cegah.
Untuk itu, negara membutuhkan terobosan konkret dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari dalam negeri. Kita perlu pisahkan badan yang mengelola uang negara, dengan badan yang mengurus pendapatan negara.
Seperti di banyak negara lain, kita perlu mendirikan Badan Penerimaan Negara. Dengan badan ini, rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) harus bisa naik hingga 23% sesuai potensinya.