Leadership of Indonesian National Leader Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Sultan Agung)

by -49 Views
Leadership of Indonesian National Leader Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Sultan Agung)

Oleh: Prabowo Subianto [dikutip dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Seringkali, pasukan kolonial tidak perlu berperang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, hal yang harus dilakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi sogok kepada para raja penguasa.

Namun, dalam sejarah Nusantara, ada beberapa sultan dan raja yang tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji manfaat ekonomi dan perhiasan.

Salah satu sultan yang tegas dalam sikapnya menentang Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil merebut Batavia dari tangan Belanda, keteguhan dan semangat yang ditunjukkan untuk mengusir VOC (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur Belanda) sudah cukup untuk menjamin tempatnya dalam sejarah.

Hingga akhir hidupnya, Sultan Agung tidak pernah tunduk pada tawaran yang diberikan VOC meskipun menarik baginya secara pribadi.

Indonesia telah mengalami ratusan tahun kolonisasi oleh kekuatan asing. Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, dan Jepang telah pada berbagai waktu menjajah Indonesia. Perancis menjajah Indonesia di bawah pemerintahan Napoleon selama masa Gubernur Jenderal Daendels. Daendels diangkat untuk memerintah Indonesia oleh saudara Napoleon, Raja Belanda.

Pada zaman pra-kemerdekaan itu, penjajah mengambil kekayaan kita dengan kekerasan. Mereka memperbudak rakyat kita.

Seringkali, pasukan kolonial tidak memerlukan tindakan perang apa pun untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang harus mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau sogok kepada para raja penguasa. Jika seseorang mengunjungi museum Belanda hari ini, seperti Rijksmuseum di Amsterdam. Di museum itu, seseorang dapat melihat dengan mata kepala sendiri hadiah-hadiah mewah dari Belanda kepada para pemimpin Indonesia saat itu, para sultan dan raja Nusantara, untuk menjajah kepulauan tersebut.

Hadiah-hadiah seperti itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan apa yang mereka ambil dari kita. Penjajah memanfaatkan kepolosan beberapa sultan dan raja Nusantara di masa lalu. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat murah.

Ada beberapa sultan dan raja yang tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji manfaat ekonomi dan perhiasan. Banyak dari para pemimpin idealis ini pada akhirnya dihadapi oleh rekan-rekan mereka, yang dibeli oleh Belanda. Beberapa bertindak karena hasutan, berita palsu, dan upaya memecah-belah dan memerintah (divide et impera).

Salah satu sultan Nusantara yang tegas dalam sikapnya menolak Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil membebaskan Batavia dari pemerintahan Belanda, keteguhan dan semangatnya untuk mengusir VOC (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur Belanda) dari bagian lain Jawa cukup untuk memastikan tempatnya dalam sejarah. Hingga akhir hidupnya, Sultan Agung menolak untuk berdamai dengan VOC meskipun tawaran mereka sangat menarik.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir pada tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Ia adalah Sultan keempat Mataram yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645.

Beliau adalah seorang sultan dan panglima yang terampil yang membangun negaranya dan mengkonsolidasikan kerajaannya menjadi kekuatan territorial dan militer yang besar. Sultan Agung dihormati di Jawa atas perjuangannya untuk mempertahankan pulau tersebut.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Raja Mataram kedua, sementara ibunya adalah putri dari Pangeran Benawa, Raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang diberikan gelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau, singkatnya, Sunan Agung.

Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapat gelar Arab – Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram – dari imam Masjid al-Haram di Mekkah, Arab Saudi.

Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613. Pada tahun 1614, VOC (berbasis di Ambon saat itu) mengirim utusan untuk meminta Sultan Agung bekerja sama, namun ia menolak tawaran tersebut dengan tegas.

Pada tahun 1618, Mataram dilanda kegagalan panen akibat perang panjang melawan Surabaya. Meskipun begitu, Sultan Agung tetap menolak untuk bekerja sama dengan VOC.

Sultan Agung mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun, hubungan ini terputus pada tahun 1635 karena posisi lemah Portugis.

Seluruh pulau Jawa pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia, yang masih diduduki oleh militer VOC-Belanda. Saat itu, Banten sudah diasimilasi secara budaya. Wilayah di luar Jawa yang berhasil dikuasai Mataram adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil mengubah Mataram menjadi kerajaan besar melalui kekuatan militer, budaya mulia rakyatnya, dan pembangunan ekonomi, terutama dengan diperkenalkannya sistem pertanian.

Source link