JAKARTA, Waspada.co.id – Maraknya penggunaan kentongan bambu ulang di desa-desa sebagai simbol perubahan menjadi perhatian Hendri Satrio, seorang pakar komunikasi politik. Menurutnya, kentongan adalah tanda kegelisahan masyarakat terhadap kondisi politik saat ini.
Pada unggahan di akun Twitter-nya, Hensat menuliskan “Jika kata bungkam, saatnya berbunyi melawan #kentongan”. Menurutnya, masyarakat semakin gelisah meskipun belum banyak yang bersuara.
“Ini adalah suara mayoritas yang pasti akan bangkit dengan situasi yang ada saat ini, reformasi dan demokrasi dalam ancaman. Nepotisme dengan mulai terlihat tidak malu-malu,” katanya, Senin (6/11).
Tidak mengherankan jika masyarakat di pedesaan yang gelisah menemukan simbol suara yang mereka pukul sewaktu-waktu untuk menyuarakan aspirasi mereka terhadap kondisi negara, yaitu kentongan bambu.
Menurutnya tsunami perubahan tinggal menunggu momentumnya, “sekarang simbolnya sudah ditemukan, yaitu kentongan bambu. Ini sangat berbahaya jika masyarakat harus menggunakan simbol dan berbisik-bisik hanya untuk bersuara,” ucapnya.
Keputusan Mahkamah Konstitusi dan naiknya putra sulung Presiden Jokowi sebagai calon wakil presiden saat bapaknya masih berkuasa semakin meningkatkan kegelisahan masyarakat. “Penguasa harus waspada terhadap hal ini,” katanya.
Simbol Perubahan
Secara terpisah, ketua Majelis Nasional Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI), Untoro Hariadi, mengatakan bahwa kentongan adalah alat komunikasi. Begitu mendengar bunyi kentongan, warga akan mendapatkan pesan yang ingin disampaikan secara luas.
“Kentongan menjadi simbol gerakan perubahan dan ada pesan kuat yang disampaikan melalui berbagai jenis ketukan. Misalnya, kentongan dengan pola ketukan 5-7 memiliki makna ketika Anies memenangkan Pilkada DKI dengan perolehan suara 57 persen. Oleh karena itu, pola bunyi ini akan terus digunakan sebagai simbol gerakan perubahan ke depannya,” tutupnya. (liputan6/pel/d2)