Kepemimpinan Letnan Jenderal TNI (Purn) Fransiskus Xaverius Sudjasmin

by -185 Views
Kepemimpinan Letnan Jenderal TNI (Purn) Fransiskus Xaverius Sudjasmin

Pertemuan Pertama dengan Pak FX Sudjasmin
Saya pertama kali bertemu dengan Pak FX Sudjasmin pada tahun 1983, saat sedang beroperasi di wilayah Timor Timur. Saat itu, pasukan Fretilin melakukan serangan besar-besaran terhadap konsentrasi TNI di sektor tengah dan Timur, melanggar kontak damai.

Saat itu, saya menjabat sebagai Wakil Komandan Detasemen 81 dengan sandi Chandraca 8 atau lebih dikenal dengan panggilan Bravo. Pasukan Bravo ditempatkan di sektor tengah dengan markas di Ossu, di antara Baucau dan Viqueque. Dan Komandan Sektornya adalah Letkol FX Sudjasmin.

Saat pertama kali bertemu, saya melaporkan keberadaan kami kepada beliau di markas yang berada di gedung bekas Kesusteran, gedung terbesar di Ossu. Saya terkesan dengan kepribadian Pak Djasmin, seorang Jawa yang ramah dan memiliki kumis. Beliau selalu tersenyum dan berbaur dengan anggota pasukan. Ciri khasnya adalah perokok berat.

Saat itu, saya merasakan kecocokan antara kami. Pak Djasmin memimpin dengan penuh ketenangan, kebapakan, tidak pernah menekan anak buahnya, penuh rasa kasih sayang, dan selalu bersama prajurit di poskonya di gunung. Pengalaman ini mengajarkan saya tentang berbagai tipe kepemimpinan. Ada pemimpin yang keras, ada yang penuh kasih sayang seperti Pak Djasmin. Namun, semua memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai keberhasilan.

Pengaruh Sikap Panglima Dalam Menjaga Toleransi Antar Agama
Pada suatu kesempatan, kami mendengar bahwa akan diterjunkan kembali ke Timor Timur. Saat itu, Pak Djasmin menjabat sebagai Pangdiv saya di Divisi Batalyon Infanteri Lintas Udara (Yonif Linud) 328 KOSTRAD. Karena mendengar akan ada tugas lagi, kami pun melakukan latihan. Namun, hal tersebut bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.

Setelah melakukan shalat Id, halalbihalal, dan makan bersama, kami langsung melanjutkan latihan. Namun, ketika sedang latihan menembak, saya menerima telepon dari Pak Djasmin yang mempertanyakan mengapa ada suara tembakan saat Hari Raya Idul Fitri. Saya menjelaskan bahwa itu adalah latihan tembak, namun beliau marah dan meminta latihan dihentikan serta semua anggota prajurit diliburkan karena masih suasana Idul Fitri.

Meskipun saya ingin melanjutkan latihan, tetapi Pak Djasmin sangat kukuh dalam keputusannya. Beliau adalah seorang panglima yang tidak hanya menghormati agamanya sendiri, tetapi juga agama lain. Sikap beliau ini sangat memengaruhi nilai-nilai dan karier saya. Beliau selalu memanggil saya dengan panggilan Mas Bravo, bukan Jenderal Bowo atau Mas Bowo. Beliau juga selalu membela saya ketika ada senior yang menjelek-jelekkan saya. Bagi saya, Pak Djasmin adalah seorang contoh yang patut diteladani.

Keberpihakan Pak Djasmin pada Anggotanya
Salah satu pengalaman lain yang menginspirasi saya adalah ketika beliau sudah menjabat sebagai Wakasad. Saat itu, saya sebagai Wadanjen Kopassus, meminta bantuan beliau untuk membantu seorang perwira dari Papua bernama Nico Obaca Woru leting ’78 agar lulus tes SESKOAD. Meskipun perwira tersebut memiliki gejala penyakit liver, Pak Djasmin memberikan bantuan dengan syarat saya bertanggungjawab jika penyakit tersebut benar-benar muncul di kemudian hari. Akhirnya, perwira asal Papua itu berhasil lolos berkat bantuan Pak Djasmin.

Pengalaman tersebut menunjukkan bagaimana beliau berempati dengan anggota di lapangan. Sikap beliau sebagai seorang panglima yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap tugasnya, tetapi juga terhadap kesejahteraan dan kesuksesan anggotanya. Ini adalah contoh nyata tentang nilai-nilai toleransi dan empati yang harus dijaga oleh seorang prajurit.

Sumber: https://prabowosubianto.com/kepemimpinan-letnan-jenderal-tni-purn-fransiskus-xaverius-sudjasmin/

Source link