Tanah seluas dua hektare di Desa Ujung Bandar, Rantau Selatan, Labuhanbatu, merupakan warisan berharga bagi keluarga Ramali Siregar. Namun, tanah tersebut diduga telah diserobot oleh empat perusahaan dan lima individu dengan sertifikat terbitan tahun 1995, mengundang kecurigaan atas praktik mafia tanah dan peradilan di daerah tersebut.
Setelah keputusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat memenangkan para tergugat, ibu Jurtini Siregar bersama LSM Kemilau Cahaya Bangsa Indonesia datang ke DKI Jakarta untuk menggugah pemerintah pusat, penegak hukum, dan Komisi Yudisial agar mengusut tuntas kasus perampasan tanah ini. Mereka menolak untuk tunduk pada sertifikat palsu dan meminta keadilan atas tanah warisan yang dirampas.
LSM KCBI menilai bahwa putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat telah menyimpang dari logika hukum dengan mengesampingkan bukti-bukti autentik seperti segel asli tanah, surat keterangan waris, dan kesaksian saksi fakta. Mereka menganggap bahwa hal ini adalah contoh dari pengabaian keadilan substantif oleh negara.
Tindakan selanjutnya yang akan dilakukan adalah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan, melaporkan kasus ini ke KPK dan Komisi Yudisial, serta meminta perlindungan untuk saksi-saksi yang merasa terancam. Mereka juga akan menggalang dukungan publik dan koalisi sipil untuk menekan penegak hukum membersihkan praktik mafia agraria.
Seruan juga ditujukan kepada pemerintah, Mahkamah Agung, Kapolri, dan Kejaksaan Agung untuk melakukan audit menyeluruh terhadap penerbitan sertifikat tahun 1995, mengawasi perkara agraria yang berbau kolusif, serta membentuk satgas anti-mafia tanah di Labuhanbatu dan wilayah lainnya. Ibu Jurtini hanya merupakan salah satu dari banyak korban perampasan tanah di Indonesia, dan keadilan yang tertunda adalah keadilan yang terabaikan.